3 Patung yang Menentang Kekuasaan Lewat Seni, Dibungkam Tak Berarti Diam

seni patung
Sumber Foto: Liputan6.com

MALANG, MOREARTMOREIT – Selama ini, patung yang kita anggap sebagai bentuk seni rupa tiga dimensi sebagai hiasan. Justru beberapa seniman, memanfaatkan patung sebagai bentuk kritik politik. Patung yang hanya diam, berani menyuarakan protes keras bagi kekuasaan, kebohongan, dan ketidakadilan

Patung bukan hanya sekedar objek untuk estetika, tapi juga bisa menjadi medium yang kuat dalam menyuarakan kritik sosial dan politik. Melewati bentuk, warna, dan simbol yang penuh makna, patung-patung ini mengajak kita untuk andil dalam isu-isu yang sering terabaikan.

“Teramat Celeng” Suara Antikorupsi dari Seniman Muda

seni patungSumber Foto: akun X @K_aji_99

Dimas Hari Agung, adalah seorang siswa dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), Yogyakarta, menciptakan karya patung berjudul “Teramat Celeng”. Patung ini menjadi bentuk kritik sosial terhadap praktik korupsi yang terus mengakar di Indonesia.

Ilustrasi dari patung ini, menggambarkan sosok babi hutan atau celeng, yang bersimbol sebagai kerakusan, ketamakan, dan perilaku menyimpang, sifat yang sering melekat pada pelaku korupsi. Selain itu patung ini hanya berukuran sekitar 35 cm x 50 cm, namun makna yang terkandung besar.

Karya patung “Teramat Celeng” mendapatkan perhatian dari publik. Banyak yang mengapresiasi keberanian seniman muda dalam mengangkat isu yang dianggap sensitif. 

Seni Patung “Melik Nggendong Lali” Kritik Butet Kartaredjasa terhadap Kekuasaan

Sumber Foto: eventguide.id

Patung ini menjadi bagian dalam pameran tunggal seniman Butet Kartaredjasa di Galeri Nasional Indonesia. Butet menyampaikan kritik tajam bagi praktik kekuasaan yang korupsi dan manipulatif.

Seperti salah satu karya yang menonjol, yaitu sosok pria bertubuh kurus dengan wajah yang berlapis emas, dan juga hidung yang panjang, berdiri depan latar yang bertuliskan “Melik Nggendong Lali”. Frasa ini menggunakan bahasa Jawa, yang menggambarkan kekuasaan atau harta, akan menyebabkan lupa diri dan kehilangan moral.

Patung ini menjadi sindiran terhadap para pemegang kekuasaan yang hidup dengan kebohongan dan anti kritik. Hidung panjang pria, yang merujuk pada karakter Pinokio, mengartikan dusta dan manipulasi. Butet menyampaikan pesan lewat karyanya, bahwa kekuasaan yang terbangun atas kebohongan hanya akan membawa kehancuran.

Seni Patung “Dewi Zalim” Karya Nyoman Nuarta Soroti Wajah Buram Keadilan

seni patungSumber Foto: akun X @annartelier

Salah satu karya seniman Nyoman Nuarta, yaitu yang bertajuk “Dewi Zalim” menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi keadilan di Indonesia. Patung yang menampilkan sosok perempuan berwarna hitam dengan ekspresi kosong, memegang timbangan yang tak seimbang. Dengan tubuh yang terlilit rantai, dan di bawah kakinya terdapat perempuan lain tergeletak tak berdaya.

Tetapi berbanding dengan figur Dewi Themis, yang mempunyai lambang dengan mata tertutup, timbangan adil, dan pedang. 

Melalui patung “Dewi Zalim”, Nuarta menyoroti bahwa sistem keadilan yang kini telah jauh dari prinsip keadilan sejati, dan justru menjadi alat kekuasaan yang menyalahgunakan wewenang.

“Ini kemarahan saya terhadap hukum kita. Lambang dewi keadilan yang matanya tertutup harusnya netral. Namun pada nyatanya tidak. Hukum itu seperti hantu di mata saya,” kata Nuarta dalam sebuah wawancara.

Baca Juga: ARTAXIAD GAMELAN, Kolaborasi Menyatukan Tradisi dan Modernisme dalam Lagu “BELAJAR BELAJAR”

Nyoman Nuarta memanfaatkan media seni untuk menyuarakan keresahan sosial dan menggugah kesadaran publik. “Dewi Zalim” menjadi representasi dalam keadilan yang korup dan tidak manusiawi. 

Seni Patung sebagai Cermin Sosial

Melalui tangan para seniman, seni patung menjadi medan perlawanan yang halus, tapi dalam dan menyentuh. Kritik terhadap korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, serta ketimpangan hukum dituangkan dalam medium yang abadi, dalam menyuarakan yang tak diucapkan.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *