Ilustrasi pemakaian blangkon, sumber : antarejatour.com
MOREART-MOREIT – Ngomong-ngomong soal seni, dunia fashion tradisional ternyata memiliki banyak sejarah dan keunikan yang menarik untuk dipelajari. Salah-satunya adalah penutup kepala khas Mas-Mas Jawa atau biasa dikenal dengan nama blangkon.
Blangkon merupakan pakaian adat tradisional Jawa. Nama blangkon berasal dari kata dalam bahasa Belanda “Blanco” atau kata yang dipakai masyarakat etnis Jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap pakai.
Ada hal unik dalam sejarah blangkon. Ternyata blangkon dulunya dinamakan udeng. Blangkon sendiri sebenarnya adalah bentuk praktis dari udeng atau tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria etnis Jawa sebagai pakaian tradisional.
Pada awalnya pemakaian blangkon merupakan perintah dari pemerintahan Kolonial Belanda. Alasannya karena bangsawan Jawa bila dikumpulkan dalam sebuah pertemuan rutin selalu terlambat disebabkan lamanya mengikat kain yang diletakan di kepala itu. Oleh karenanya ikat kepala yang semula dinamakan udeng, diganti dengan penutup kepala siap pakai atau blangkon.
Blangkon bukan hanya sekedar tutup kepala bagi masyarakat pria Jawa. Tidak seperti penutup kelapa yang lain, blangkon memiliki makna, keindahan, dan kewibawaan bagi pemakainya. Masyarakat Jawa Kuno meyakini bahwa kepala seorang laki-laki memiliki arti serius dan khusus sehingga penggunaan blangkon sudah menjadi pakaian keseharian atau bisa dikatakan wajib bagi bangsawan Jawa.
Ngomong-ngomong tentang blangkon, biasanya kota yang identik dan erat kaitannya dengan blangkon adalah daerah Yogyakarta dan Surakarta. Kedua daerah tersebut seolah menjadi pusat perhatian jika kita mengucapkan kata “Blangkon”.
Blangkon yang terdapat pada kedua daerah tersebut, ternyata memiliki gaya dan ciri khasnya masing-masing. Perbedaan ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah dua keraton yang dulu berada di Yogyakarta dan Surakarta.
Dilansir dari DetikJateng, menurut budayawan Kota Solo, Ronggojati Sugiyanto, perbedaan pakaian adat secara keseluruhan berawal dari Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang memecah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian. Solo atau Surakarta menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono III, dan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono I. Dari peristiwa itu, secara perlahan terjadilah revolusi kebudayaan besar di antara keduanya.
“Saat paliyan nagari (pembelahan wilayah Mataram) setelah perjanjian Giyanti, seluruh kebudayaan dibawa ke Jogja. Sinuhun Pakubuwono III kemudian melakukan revolusi kebudayaan, baik dari pakaian, keris, gamelan, wayang, hingga tari,” jelas Sugiyanto ketika diwawancara DetikJateng.
Dari revolusi kebudayaan tersebut membuat gaya Blangkon Jogja dan Solo memiliki perbedaan baik dari bentuk dan motifnya.
Blangkon Jogja memiliki ciri mondolan atau tonjolan pada bagian belakang Blangkon. Bagian depannya lebih tinggi, dan cara memakainya ditarik sedikit ke belakang. Blangkon Jogja biasanya memiliki motif “Kumitir”. Motif tersebut menggambarkan orang yang selalu berusaha dengan keras dalam hidupnya.
Sedangkan, berbeda dengan Jogja, blangkon Solo memiliki mondolan pada bagian belakangnya. Bagian belakang berciri trepes atau hampir sama rata antara bagian depan dan belakangnya. Blangkon Solo memiliki motif “Modang”, seperti cahaya blencong atau lampu dalam pertunjukan wayang kulit. Selain itu blangkon Solo juga tidak memiliki wiru atau lipatan-lipatan kain seperti pada jarik.
Yups, itulah sedikit penjelasan mengenai sejarah dan perbedaan pakaian adat khas Jawa. Kira-kira Morpips sudah paham belum ya?
Moreartmoreit adalah Portal Berita berbasis seni dengan informasi mengenai Musik, Kesenian Lokal, Event Kesenian hingga informasi Digital Kreatif yang aktual
©2025 MOREARTMOREIT.COM