Dilarang Keras! Ketika Lirik Lagu Jadi Ancaman dan Musik Jadi Perlawanan.

MOREARTMOREIT– Baru-baru ini, jagat musik Indonesia digemparkan oleh kontroversi yang melibatkan band punk asal Purbalingga, Sukatani. Dikenal dengan lirik-lirik tajam yang mengangkat isu sosial dan lingkungan, duo ini terdiri dari AL (Alectroguy) sebagai gitaris/produser dan Ovi (Twister Angel) sebagai vokalis telah merilis album debut mereka, Gelap Gempita, pada Juli 2023. Album ini memadukan nuansa post-punk dengan sentuhan new wave, serta lirik yang lugas menggunakan dialek Banyumasan.
Salah satu lagu dalam album tersebut, “Bayar Bayar Bayar,” menjadi sorotan setelah Sukatani mengunggah permohonan maaf melalui media sosial. Lagu ini dianggap menyudutkan institusi kepolisian, sehingga mereka merasa perlu menariknya dari semua platform musik. Permintaan maaf ini memicu berbagai reaksi dari publik dan sesama musisi.
Sejumlah musisi Tanah Air memberikan dukungan kepada Sukatani. Grup musik The Panturas, misalnya, menyindir pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan lirik lagu tersebut. Musisi Tuan Tigabelas mengungkapkan keprihatinannya atas dugaan intimidasi yang diterima oleh Sukatani, sementara David Bayu menegaskan bahwa lirik “Bayar Bayar Bayar” mencerminkan kenyataan yang ada.
Menanggapi kontroversi ini, pihak kepolisian melalui Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, menyatakan bahwa institusi mereka terbuka terhadap kritik. Kapolri Listyo Sigit Prabowo juga secara konsisten mengingatkan jajarannya agar tidak bersikap anti kritik.
Namun, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang kebebasan berekspresi di Indonesia. Musik, sebagai salah satu bentuk seni, telah lama menjadi medium bagi seniman untuk menyuarakan kritik sosial dan politik. Ketika karya seni dianggap mengancam atau menyudutkan pihak tertentu, respons yang muncul seringkali berupa tekanan atau intimidasi terhadap seniman tersebut.
Sukatani, dengan identitas mereka sebagai “punk agraris,” telah konsisten menyuarakan isu-isu pertanian dan ketidakadilan sosial melalui musik mereka. Selain bermusik, mereka juga aktif dalam gerakan sosial dan lingkungan hidup, bahkan kerap membagikan sayuran kepada penonton sebagai simbol kepedulian terhadap sektor pertanian.
Ironisnya, ketika seniman seperti Sukatani berusaha menyuarakan realitas yang terjadi di masyarakat, mereka justru menghadapi tekanan yang membatasi ruang berekspresi. Hal ini mencerminkan paradoks dalam demokrasi kita: di satu sisi, kebebasan berekspresi dijamin oleh konstitusi; di sisi lain, praktik di lapangan menunjukkan adanya upaya pembungkaman terhadap suara-suara kritis.
Kebebasan berekspresi seharusnya menjadi pilar utama dalam negara demokrasi. Tanpa kebebasan ini, seni kehilangan esensinya sebagai cermin masyarakat dan alat perubahan sosial. Tekanan terhadap seniman tidak hanya merugikan individu tersebut, tetapi juga menghambat perkembangan budaya dan intelektual bangsa.
Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk merenungkan kembali nilai-nilai demokrasi yang kita anut. Institusi negara, termasuk kepolisian, seharusnya menjadi pelindung kebebasan berekspresi, bukan sebaliknya. Sementara itu, masyarakat dan komunitas seni perlu terus mendukung dan melindungi seniman yang berani menyuarakan kebenaran, meskipun pahit.
Kasus Sukatani bukanlah yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir. Namun, ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk kebebasan berekspresi masih panjang dan memerlukan komitmen dari semua elemen masyarakat. Hanya dengan demikian, seni dapat berkembang dan berkontribusi positif bagi perubahan sosial di Indonesia. (by: Yusron)