Tulisan Tangan, Ingatan Kolektif: Lulut Edi Santoso dan Tulisan Tangan, Perpustakaan Puspa Budaya

manuskrip kuno
Sumber Foto: Mavericks

MALANG, MOREARTMOREIT – Di sebuah rumah sederhana di sudut Kota Malang, terdapat perpustakaan kecil bernama Puspa Budaya. Di dalamnya tersimpan ratusan manuskrip kuno lembaran sejarah yang nyaris hilang dari ingatan kolektif. 

Pemilik Puspa Budaya ini adalah, Lulut Edi Santoso, yang merupakan seorang guru sejarah di SMA Negeri 3 Malang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga warisan budaya lewat tulisan tangan masa lampau.

“Kalau sejarah hanya disimpan, ia akan mati. Tapi kalau dibaca, dipelajari, itu jadi hidup kembali,” ujar Lulut saat ditemui di rumahnya yang kini menjadi tempat belajar bersama soal naskah-naskah kuno.

Awal Mula dari Cerita Nabi

Minat Lulut pada manuskrip bukan datang tiba-tiba. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan buku beraksara Jawa dan Arab Pegon. “Dulu, setiap malam habis Maghrib, ayah saya bacakan Serat Ambiya. Sekarang tinggal dua lembar karena rayap,” kenangnya. Dua lembar itu kini menjadi koleksi paling personal dalam ratusan manuskrip yang ia kumpulkan sejak 2008.

50 Persen Gaji Demi Satu Lembaran Tua

Sumber Foto: Mavericks

Tak sedikit pengorbanan yang dilakukan. Ia mengaku menghabiskan 50 hingga 70 persen gajinya untuk membeli manuskrip, bahkan dengan ongkos kirim dari luar kota. Media sosial seperti Facebook dan Instagram ia manfaatkan untuk berburu manuskrip dari kolektor lain. Namun, popularitas dari platform itu juga membuat harga melambung.

“Dulu 500 ribu bisa dapat manuskrip bagus. Sekarang 1 juta pun belum tentu,” ujarnya.

Jenis Manuskrip: Dari Lontar ke Kain

Manuskrip yang dikumpulkan beragam jenisnya: dari lontar, kulit kayu, kain, hingga kulit binatang. Tinta yang digunakan pun alami jelaga, getah, hingga tinta impor dari China dan Eropa. Pena Tak melulu logam, kadang dari bulu burung, ranting, atau bambu. Aksara Jawa, Arab Pegon, hingga aksara lokal lainnya menghiasi setiap lembarannya.

Pelestarian Manuskrip Kuno Bukan Jimat, Bukan Mistis 

Masalah muncul bukan hanya dari rayap atau kelembaban. Persepsi masyarakat juga jadi tantangan. “Sering dikira jimat atau benda mistis,” ujar Lulut. Padahal, menurutnya, manuskrip adalah sumber ilmu dan sejarah.

Zainal Abidin, dosen antropologi budaya di Universitas Muhammadiyah Malang, menegaskan hal ini. “Manuskrip itu bukan hanya arsip, tapi jejak hidup dari masyarakat masa lalu. Ia menyimpan cara pikir, nilai sosial, dan situasi budaya mereka,” ujarnya.

Puspa Budaya: Perpustakaan Terbuka di Rumah

Sumber Foto: Mavericks

Koleksi manuskrip Lulut kini disimpan di perpustakaan kecil miliknya, Puspa Budaya. Dibuka untuk umum tanpa biaya, tempat ini menjadi ruang belajar alternatif bagi pelajar, peneliti, hingga pencinta budaya. Ia juga mengadakan kelas membaca aksara Jawa dan pelestarian naskah secara mandiri.

Bagi Lulut, ini bukan sekadar hobi. Ini adalah bentuk jariyah, ilmu yang terus mengalir.

Pelestarian Manuskrip Kuno, Bukan Sekedar Mengoleksi

Setelah itu “Banyak orang ingin punya manuskrip, tapi tak tahu cara menyimpan. Padahal, satu manuskrip itu bisa jadi warisan satu generasi,” tegas Lulut. Ia berharap pemerintah daerah maupun komunitas seni di Malang ikut turun tangan. Tidak hanya mengapresiasi, tapi juga mendukung perawatan dan digitalisasi naskah kuno.

Baca Juga: Electric Bird Soroti Krisis Lingkungan Melalui Single Rock Terbaru “Aurora”

Di era yang serba cepat dan serba digital, usaha Lulut terasa seperti kerja sunyi. Namun justru dari kesunyian itu, kita bisa melihat bahwa sejarah tidak akan pernah kehilangan suaranya selama masih ada yang mau membaca dan merawatnya.

 

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *