Patung Dewi Zalim: Kritik Sosial dalam Wujud Seni oleh I Nyoman Nuarta

Ilustrasi Patung Dewi Zalim, Sumber Foto: kumparan.com
MALANG, MOREARTMOREIT – Di tengah deretan patung ikonik karya I Nyoman Nuarta, nama “Dewi Zalim” mencuat sebagai simbol perlawanan terhadap ketimpangan sosial. Patung ini bukan sekadar karya seni rupa; ia adalah pernyataan lantang tentang wajah keadilan di Indonesia yang dianggap tak lagi netral.
Ilustrasi I Nyoman Nuarta, Sumber Foto:itb.ac.id
Makna dan Simbolisme dalam Patung Dewi Zalim
Dipamerkan di NuArt Sculpture Park, Bandung, Dewi Zalim adalah patung berwujud perempuan tanpa wajah, berwarna hitam, dengan tangan kiri menggenggam timbangan berat sebelah dan tangan kanan memegang sabit. Di bawahnya, seorang perempuan terbaring tak berdaya—mewakili korban dari ketidakadilan sistemik. Lewat simbol ini, Nuarta menyoroti betapa tajamnya ketimpangan antara rakyat kecil dan pemegang kekuasaan.
Patung “Dewi Zalim” tidak hanya menjadi pusat perhatian di NuArt Sculpture Park, tetapi juga viral di media sosial seperti TikTok, memicu diskusi tentang keadilan dan hukum di Indonesia. Karya ini mengajak pengunjung untuk merenungkan realitas sosial dan mempertanyakan integritas sistem hukum yang ada.
Kritik Terhadap Simbol Keadilan Klasik
Menurut Nuarta, representasi klasik keadilan yang selama ini digambarkan melalui sosok Dewi Themis—bermata tertutup dan membawa pedang bermata dua—sudah tidak relevan lagi. Ia kemudian menciptakan Dewi Zalim sebagai antitesis dari simbol keadilan tradisional tersebut.
“Saya bikin patung ini karena saya jengkel melihat kenyataan bahwa keadilan hanya berpihak kepada yang berduit dan punya kekuasaan,” ujar Nyoman Nuarta dalam sebuah wawancara bersama Kumparan (2022). Baginya, lambang klasik keadilan berupa Dewi Themis dengan mata tertutup dan pedang bermata dua kini sudah tak relevan lagi. Maka lahirlah antitesisnya: Dewi Zalim.
Ilustrasi Patung Themis, Sumber Foto: pixabay.com
Berlatar situasi sosial yang terus menunjukkan jurang antara si kuat dan si lemah, Dewi Zalim bukan hanya gambaran fiktif, tetapi cerminan dari realita. Nuarta menyatakan bahwa seni, terutama patung, adalah media yang efektif untuk menyampaikan kritik sosial, karena berbicara dalam bahasa yang universal—visual.
Ilustrasi Patung Dewi Zalim, Sumber Foto: X @cniesther
Spesifikasi dan Bahan Ramah Lingkungan
Patung Dewi Zalim memiliki dimensi yang cukup besar—dengan tinggi 240 cm, lebar 150 cm, dan panjang 230 cm. Nuarta menggunakan bahan utama berupa tembaga dan kuningan, yang selain memiliki nilai estetika, juga mencerminkan komitmennya terhadap keberlanjutan lingkungan.
Material tersebut terpilih bukan tanpa alasan. Selain mudah dibentuk, tembaga dan kuningan menjadi simbol eksploitasi sumber daya alam yang kerap dilakukan tanpa pertimbangan etika dan keadilan.
Menyimpang dari Arus Utama: Patung Publik yang Berani Bersuara
Dalam konteks sejarah seni rupa Indonesia, karya seperti Dewi Zalim tergolong langka. Mayoritas patung publik di Indonesia cenderung bersifat dekoratif atau monumental—biasanya untuk memperingati tokoh nasional, peristiwa sejarah, atau pencapaian kolektif. Namun, Dewi Zalim menyimpang dari pola tersebut. Ia bukan hanya hadir sebagai objek visual, tetapi juga sebagai subjek yang bersuara. Mengusik kenyamanan, dan menuntut refleksi mendalam dari para penikmat seni.
Pameran “Perempuan dan Perlawanan”: Nuarta dan Konsistensi Isu Sosial
Menurut laporan Anyflip dalam dokumen pameran bertajuk Perempuan dan Perlawanan, Dewi Zalim dipamerkan bersama karya-karya lain I Nyoman Nuarta yang mengangkat isu-isu sosial dan politik. Salah satu di antaranya adalah Nightmare, sebuah patung yang menggambarkan kekerasan terhadap perempuan Tionghoa dalam tragedi Mei 1998.
Baca Juga: Menguak Rahasia Doodle Grid: Metode Seniman Mural untuk Karya Dinding di Raksasa
Keterlibatan patung-patung ini dalam pameran tersebut memperkuat konsistensi Nuarta sebagai seniman. Yang berpihak kepada korban serta tidak ragu mengangkat tema-tema sensitif yang seringkali luput dari perhatian publik.
Seni sebagai Medium Kesadaran dan Perlawanan
Melalui Dewi Zalim, Nuarta tidak sekadar menyajikan seni untuk dinikmati secara estetis, melainkan juga sebagai media pembuka kesadaran sosial. Ia mengajak publik untuk melihat seni sebagai alat perlawanan terhadap ketidakadilan dan kemapanan sistem yang timpang.