“Anjing Berkokok”: Kegilaan yang Tidak Perlu Sembuh, Tabib Gila dan Pemberontakan yang Nyata

post feed (Sumber Ig: @tabib_gila)
MALANG, MOREARTMOREIT – Di sebuah studio kecil di sudut kota Malang, dua anak muda yang biasa disebut Tabib Gila menata keresahan mereka melalui lagu berjudul Anjing Berkokok. Di balik tumpukan kabel, pedal efek, dan dinding hitam legam, lahirlah sebuah karya yang tak biasa.
Bagi Tabib Gila, lagu Anjing Berkokok bukan sekadar musik. Duo asal Malang yang terdiri dari Nafil (vokal) dan Alif (instrumentalis), lagu ini adalah bentuk perlawanan. Sebuah pernyataan yang mengguncang norma dan merangkul kegilaan sebagai bentuk keberanian untuk tidak menyembuhkan diri hanya demi terlihat waras di mata dunia.
Rock yang Jujur: Suara dari Luka Sosial
Genre rock kerap dianggap sekadar bising dan penuh amarah. Namun bagi Tabib Gila, rock adalah medium paling jujur untuk menyampaikan keresahan sosial dan luka personal. Karya mereka tidak terbangun dari teori, tetapi dari pengalaman hidup yang penuh tekanan dan absurditas.
“Bodo amat. Tutup telinga dan terus jalan,” ucap Nafil, menjelaskan esensi dari “Anjing Berkokok”—sebuah lagu yang tidak memberikan solusi, melainkan menawarkan ruang untuk berdamai dengan kegilaan itu sendiri.
Arti di Balik Judul “Anjing Berkokok”
Judul lagu ini secara instan menimbulkan tanya. Anjing tidak bisa berkokok, itulah justru kekuatannya. Ia adalah metafora tentang absurditas, tentang suara-suara yang terdengar nyaring tapi kehilangan konteks.
Judul ini mencerminkan mereka yang berbicara keras tanpa memahami kenyataan orang lain. “Anjing Berkokok” menjadi simbol dari kegelisahan terhadap masyarakat yang terlalu cepat menilai, tapi enggan memahami.
Tabib Gila: Duo Gila dengan Energi Orkestra
Meski hanya terdiri dari dua orang, Tabib Gila mampu menghasilkan energi musikal sekelas orkestra mini. Alif menciptakan lanskap suara yang tak lazim namun menawan, sementara Nafil melontarkan lirik-lirik surealis dengan ekspresi vokal yang mentah dan emosional.
Mereka tidak terikat pada genre tertentu, tidak memedulikan arus pasar, dan tidak takut terlihat “aneh.” Musik mereka menyentuh sisi bawah sadar pendengar, seperti mimpi buruk yang indah dan membingungkan.
Pengalaman Mendengar: Lebih dari Sekadar Lagu
“Anjing Berkokok” tidak hanya untuk didengar—lagu ini untuk dialami. Dari intro yang membawa kita ke lorong gelap, hingga ritme yang menghantam tubuh, setiap elemen dari lagu ini seperti bagian dari ritual sonik.
Setelah lagu berakhir, perasaan yang tersisa bukan hanya puas, tapi juga bingung dan terbius. Seolah pendengar baru saja memasuki dunia alternatif, lalu rindu untuk kembali ke sana.
Refleksi Sosial: Ketika Kegilaan Menjadi Perlindungan
Di balik musiknya, Tabib Gila menyuarakan realitas yang sering diabaikan: tentang luka yang tak terlihat, tentang ekspektasi sosial, dan tentang dunia yang memaksa setiap individu untuk menjadi “normal.”
Baca Juga: Lagu ‘Kuning’, dari Rumahsakit hingga Morfem.
Lewat “Anjing Berkokok” Tabib Gila menyatakan bahwa tidak semua orang harus ikut arus. Kegilaan, dalam konteks mereka, bukan kelemahan, tapi bentuk perlindungan dan perlawanan.
Tidak untuk Semua Orang, Tapi Bisa Menyentuh Siapa Saja
Tabib Gila sadar bahwa musik mereka tidak untuk tertuju ke semua orang. Namun mereka tahu, siapa pun yang cukup berani untuk mendengarkan, akan menemukan sesuatu di dalamnya—entah itu pelarian, kenyamanan, atau pengingat bahwa menjadi “gila” adalah bentuk kewarasan yang paling murni di tengah dunia yang terus memaksa kita untuk waras.
Kadang, kegilaan adalah cara paling waras untuk bertahan hidup.