Jaranan Dor Kidalan, Kesenian Sakral Khas Malang

Ilustrasi Jaranan Dor Kidalan. Sumber Foto: jurnalmalang.com
MALANG, MOREARTMOREIT- Jaranan Dor Kidalan merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Desa Kidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Seni pertunjukan ini bukan sekadar tontonan, melainkan bagian dari warisan budaya yang telah hidup sejak era Kerajaan Singhasari pada abad ke-13. Dengan akar sejarah yang kuat, Jaran Dor terus menjadi tradisi masyarakat sekitar sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan identitas budaya lokal.
Nama “Jaran Dor” berasal dari kata jaran yang berarti kuda, dan dor yang merujuk pada hentakan atau semangat khas dalam pertunjukan ini. Kedua unsur tersebut melambangkan perpaduan antara kekuatan fisik dan energi spiritual yang menjadi dasar dalam pertunjukan ini.
Ciri Khas yang Membuatnya Unik
Berbeda dari jenis jaranan lainnya di Jawa Timur, Jaran Dor Kidalan memiliki beberapa ciri khas yang sangat unik. Pertama, kesenian ini tidak menggunakan pecut (cambuk) dalam tarian, melainkan menggantinya dengan gerakan ritmis menggunakan rotan. Gerakan para penari menggambarkan semangat ksatria atau suasana peperangan di masa lalu.
Kuda kepang yang digunakan dalam pertunjukan ini dibuat dari bambu anyaman atau gedeg, dengan balutan warna-warna khas yaitu merah, putih, dan hitam. Masing-masing warna tersebut tidak sekadar elemen visual, melainkan memiliki makna filosofis yang mendalam.
Baca Juga: Niki Penyanyi Indonesia Pertama Peraih Top 30 Global Chart Spotify
Makna Warna dalam Jaranan Dor Kidalan
Warna dalam Jaranan Dor Kidalan bukan hanya elemen dekoratif, tetapi bagian dari simbolisme spiritual dan budaya.
1. Putih – Turonggo Seto (1–2 pemain)
Melambangkan kesucian, ketulusan hati, dan keseimbangan antara dunia nyata dan gaib. Penari pembuka sering menggunakan warna putih karena warna ini mampu menghadirkan harmoni serta menetralkan energi negatif.
2. Merah – Juring Perantas (2–3 pemain)
Mewakili semangat, keberanian, dan kekuatan. Merah tak sekadar warna, namun juga merupakan api yang membara, simbol energi leluhur yang menyatu dalam tubuh para penari saat memasuki dunia trans. Dalam pertunjukan kalapan, pemain merah sering menjadi pusat perhatian karena energinya yang tinggi.
3. Hitam – Turonggo Wulung (2–3 pemain)
Melambangkan kekuatan magis, misteri, dan perlindungan dari energi luar. Hitam menjadi warna untuk perlindungan gaib yang membentengi penari dari gangguan halus dan menguatkan jiwa mereka dalam tarian sakral.
Struktur dan Susunan Acara Jaranan Dor Kidalan
Jaranan Dor Kidalan biasanya menjadi bagian dari acara adat, seperti Suroan, Bersih Desa, dan Sedekah Bumi, yang menyatukan masyarakat dalam perayaan tradisi dan penghormatan kepada leluhur. Berikut adalah susunan acaranya:
1. Ritual Awal (Ziarah Punden)
Warga desa melakukan ziarah ke punden 2 hari sebelum pertunjukan, yakni makam tokoh pendiri desa atau leluhur yang menganggap hal ini sebagai pelindung spiritual. Tujuan ritual ini adalah memohon izin dan restu untuk pertunjukan.
2. Penyajian Sesajen dan Suguhan
Sajian seperti bunga, kemenyan, dan makanan tradisional diletakkan pada titik-titik tertentu sebagai persembahan kepada roh leluhur. Ini menjadi simbol rasa syukur dan penghormatan atas perlindungan yang diberikan.
3. Campursari
Satu jam sebelum pertunjukan, Sinden dan pengrawit membawakan musik campursari. Lantunan Lagu-lagu Jawa klasik dengan iringan alat musik seperti jidor, gendang, angklung, gong, kenong, dan saron.
4. Kembangan
Bagian pembuka dari pertunjukan, penari mulai menunjukkan gerakan khas jaranan. Dalam pertunjukan ini dimainkan oleh 6–10 orang, dipimpin oleh Jaran putih (Turonggo Seto), lalu diikuti oleh Jaran merah (Juring Perantas), dan ditutup oleh Jaran hitam (Turonggo Wulung).
5. Kalapan (Puncak Energi Spiritual)
Inilah bagian puncak pertunjukan. Kalapan adalah momen ketika para penari memasuki kondisi trance atau tidak sadar. Gerakan mereka menjadi liar, tidak terkendali, namun tetap mengikuti alunan musik. Pada tahap ini, menggunakan properti khusus seperti caplokan dan kepala banteng.
Caplokan merupakan topeng kayu yang menyerupai wajah buto (raksasa), dengan warna merah dan berat mencapai 5–10 kg. Penari memakai Caplokan menandakan mereka sedang berada dalam pengaruh roh leluhur. Penonton dilarang meniup suitan, karena menganggap bisa mengganggu arwah leluhur yang “bersemayam” dalam tubuh para penari.
6. Penyandaran (Kembali ke Kesadaran)
Setelah trance, pawang atau dukun pertunjukan menyadarkan para pemain dengan melantunkan mantra khusus. Bisa dilakukan dengan cara memecut ringan, atau menidurkan pemain sambil meletakkan kain sewek di kepala mereka sebagai media penenang dan penarik energi spiritual.
Lebih dari Sekadar Pertunjukan, Jaranan Dor Kidalan sebagai Media Dakwah dan Identitas Budaya
Kesenian Jaran Dor Kidalan tidak hanya berfungsi sebagai hiburan rakyat, tetapi juga menjadi media edukasi spiritual, penyambung nilai-nilai kearifan lokal, serta wujud nyata dari keberagaman budaya Indonesia. Di tengah arus globalisasi, kesenian ini menjadi benteng pertahanan budaya masyarakat Malang dan sekitarnya.
Meskipun mengandung unsur mistik dan simbolisme yang dalam, serta keindahan gerakan tari yang memukau, Jaran Dor Kidalan terus hidup sebagai kesenian yang tetap relevan, banyak penggemar, dan menjadi warisan dari generasi ke generasi.