Mural di belakang UIN Malang sumber:Ahmad Rizal on Paraduta Creative

MOREART-MOREIT– Mural merupakan seni yang bisa Anda temui dimana saja. Biasanya mural dapat ditemui di pinggiran jalanan, bangunan kosong hingga pendukung ruang arsitektur. Kreativitas mural begitu beragam tergantung pesan apa yang ingin disampaikan seniman dalam berekspresi. Hal tersebut, membuat seniman mural selalu mempunyai cara dalam menuangkan imajinasi untuk berekspresi menyampaikan pesan.

Tempat umum adalah spot favorit yang kerap dipilih seniman mural untuk menyampaikan kegelisahan dan pesan kritiknya. Tempat tersebut, termasuk ke dalam ruang publik yang dapat memberikan kesempatan seniman dalam bersuara. Junas Seniman mengatakan jika kita mempunyai feeling untuk membuat mural langsung saja dilakukan. “Ketika aku ingin bersuara ya bersuara saja, menurutku enggak menjadi masalah, apalag sekarang mungkin tren sarkasme. Menurutku kamu kamu feeling untuk membuat mural ya gas saja,” ujar Junas.

 

Awal mula Mural

Di era awal kemerdekaan Indonesia, propaganda yang sama juga dipakai para pejuang untuk membakar semangat masyarakat. Pada masa penjajahan kebebasan berpendapat dikunci oleh penjajah dan masyarakat diberi propaganda. Saat itu mural mulai muncul dan memberikan semangat pemberontakan untuk mengusir penjajah. Berbagai tulisan yang berisi seruan mendukung kemerdekaan mulai menutupi dinding kita dan gerbong kereta secara mencolok. Hal itulah, yang menjadi awal mula mural mulai dikembangkan.

Di Indonesia sudah banyak seniman yang menuangkan ekspresi dalam membuat mural. Namun, keberadaan mural sempat terjadi penghapusan oleh pemerintah. Kejadian tersebut, sempat ricuh dibicarakan di media sosial. Banyak mural di Indonesia yang telah mengalami penghapusan paksa oleh aparat kepolisian dan Satpol PP. Hal tersebut, mengakibatkan banyak oknum pembuat mural ditangkap karena dugaan kriminalisasi terkait pasal UU ITE atau KUHP.

 

Melampiaskan kritikan melalui mural

Sebagai sarana berekspresi mural dapat menjadi media untuk menuangkan isi pikiran dari pembuatnya. Lahirnya kritik melalui berbagai media merupakan bentuk kekesalan masyarakat terhadap para penguasa yang dinilai mengecewakan. Belakangan ini, justru kebijakan pemerintah dinilai menyengsarakan masyarakat kecil. Keadaan tersebut, melahirkan sebuah kritik atas kebijaksanaan seorang pemimpin yang seharusnya melindungi dan memberi rasa aman terhadap rakyatnya.

Tak heran jika akhirnya beberapa orang memilih melampiaskan hal tersebut melalui karya dalam mural. Junas mengatakan dirinya merasa aneh jika demokrasi membatasi ruang gerak ekspresi atau kreativitas.”Menurutku cukup aneh untuk menanggapi larangan kayak gitu, tapi balik lagi ketakutannya apa semakin menjadi pertanyaan ketika demokrasi membatasi ruang gerak ekspresi atau kreativitas,” ujar Junas.

Pemerintah yang bersikap responsif dengan melakukan penghapusan terhadap mural-mural tersebut, diharapkan mampu memberikan kebijakan yang tepat. Oleh karena itu, pemerintah boleh membatasi hak berpendapat tersebut dengan beberapa syarat, seperti yang diatur dalam undang- undang. Mural bisa dilarang jika memuat perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap golongan rakyat Indonesia. Hal tersebut, karena dapat melanggar Pasal 157 KUHP.

Seniman mural juga memberikan pesan kepada masyarakat tentang isi dan maksud yang terkandung dalam sebuah mural. Seni mural digunakan sebagai media penyampaian kritik tentang permasalahan dalam realitas sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Hal tersebut, merupakan upaya bentuk penyampaian suara masyarakat.

“Kalau buat mural inspirasiku dari orang-orang di sekitarku tentang hal-hal yang aku rasakan saat aku membuat itu, jadi aku kayak merekam sesuatu entah itu dari aku menggambar itu atau me-recall sesuatu dari belakang atau membayangkan sesuatu di masa depan,” ujar Junas.

 

Penegasan terkait mural yang melanggar

Keberadaan mural sering dianggap meresahkan dan mengganggu keindahan kota. Hal tersebut dikarenakan isi dalam mural mengarah pada provokasi. Tak heran jika, banyak daerah yang menerapkan hukuman bagi pembuat mural yang tidak pada tempatnya. “Pihak Malang sendiri telah memberikan sarana untuk berekspresi yaitu Di MCC dengan harapan para seniman bisa menuangkan kreativitasnya,” ujar Saleh Ilham.

Maraknya kejadian tersebut, Satpol PP mulai menegaskan dengan melakukan penghapusan mural di berbagai daerah. Lalu, apa alasan yang membuat mural tersebut termasuk melanggar peraturan daerah? Muhammad Zulkarnain yang merupakan pejabat fungsional ahli pertama di Satpol PP melihat fenomena mural dari sudut pandang Perda tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan.

“Disini sudah jelas, mencoret atau menggambar pada dinding pemerintah atau milik orang lain, swasta, tempat ibadah, pasar, jalan raya, dan pagar. Akibatnya, dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, karena isinya bisa saja provokasi, bisa menyinggung ras dan sebagainya,” ujar Muhammad Zulkarnain. 

Selain itu, alasan mural tersebut ditegaskan, karena mural tersebut tidak memiliki motif dan tujuan. Mural yang ditegaskan biasanya mengandung kata-kata provokatif. Hal tersebut, dihapus karena dikhawatirkan akan dianggap tidak hormat ke lambang negara nasionalis. Junas mengatakan masyarakat perlu mempertanyakan apa arti demokrasi yang dimaksud oleh pemerintah.

“Mungkin seharusnya masyarakat aware dan patut mempertanyakan kalau misalkan berekspresi dibatasi, kan katanya demokrasi tetapi kalau misal begini dilarang dan sebenarnya yang mereka takutkan apa dengan demokrasi seharusnya sefleksibel itu,” ujar Junas.

Dengan kata lain, kritik sosial dengan aksi seni seperti mural, tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Hal tersebut, karena ini merupakan sebuah hal yang wajar dan justru harus terus dibangun dalam iklim demokrasi. Di era demokrasi, semakin banyak kritik yang bermunculan, semakin membuktikan bahwa proses demokratisasi di Indonesia berjalan dengan baik. Saleh Ilham Kepala Pasar Besar memberikan pandangan dari segi politik.

“Kebebasan berekspresi sejatinya sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28F dan 28E ayat 3 yang mengatur setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat. dan ada juga di UU HAM No 39/1999 pasal 23 ayat 2 dan UU 5/2007 tentang pemajuan kebudayaan termasuk salah satunya adalah seni. Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi hak tersebut dan tidak boleh mengintervensinya,” ujar Saleh Ilham.

Namun, bagi Junas seniman mural yang berkarya sejak 2017, kebebasan berkreasi dalam konteks demokrasi itu mutlak. “Kebebasan berkreasi dalam konteks demokrasi, adalah hal yang mutlak karena demokrasi itu sistem yang seharusnya disuarakan paling keras. Jadi kebebasan itu selama kita memaksimalkan seharusnya bukan menjadi hal yang tabu menurutku seperti itu,” ujar Junas.

Terlepas dari pro dan kontra, mural adalah salah satu bentuk kebebasan berekspresi dalam upaya berdemokrasi menyampaikan suara. Selain itu, ketika mengkritik harus tetap menjaga kepatutan dengan bijaksana dalam menyampaikan. Jadi, dalam mengkritik harus menggunakan data dan fakta yang valid agar tidak menimbulkan provokasi. Oleh karena itu, kedepan harus dapat membuka ruang dialog yang seluasnya. Hal tersebut, agar kebijakan yang diciptakan tetap merakyat dan bukan hanya untuk kepentingan politik semata.