TAKU: Lima Tahun Perjalanan WOF dalam Merayakan Proses dan Keheningan

taku

MALANG,MOREARTMOREIT Taku (E) berarti rumah. Dalam perjalanan lima tahun terakhir, Taku menjadi lebih dari sekadar objek desain pertama dari WOF. Ia menjelma menjadi arsip yang hidup, rumah awal bagi gagasan yang dikumpulkan, disusun, dan dikembangkan. Sejak awal, Taku telah menghidupi makna namanya: ruang pijakan pertama, tempat berpulang, dan titik mula perjalanan kreatif WOF.

Titik Awal Perjalanan: Taku sebagai Simbol Waktu dan Kesadaran

WOF memulai langkahnya pada tahun 2020 dengan Taku, bukan hanya sebagai karya perdana yang dirancang, tetapi juga sebagai simbol waktu, proses, dan keberanian untuk memulai sesuatu yang belum tentu selesai. Dalam lima tahun terakhir, berbagai pendekatan dan pemikiran tumbuh bersama Taku, menjadikannya garis awal yang perlahan menemukan bentuk, arah, dan kedalaman.

Pameran ini menjadi momen untuk membaca ulang: bagaimana sebuah bentuk dimulai, diuji, dipertanyakan, dan kemudian dimatangkan. Setiap Taku yang ditampilkan bukanlah hasil akhir, melainkan bagian dari proses yang jujur dan penuh kesadaran. WOF percaya bahwa objek bukan sesuatu yang berhenti ia terus bergerak dan berkembang.

Evolusi Material dan Desain Taku dari 2020 hingga 2025

Prototipe pertama Taku diluncurkan tahun 2020 menggunakan kayu kembang. Pada 2021, versi final menggunakan kayu meranti dengan detail khas seperti penyangga segitiga dan jejak biru. Tahun 2022, Taku menjadi produk paling diminati, lalu berganti material ke kayu sungkai sejak 2023. Tahun ini, potongan Taku versi sebelumnya disusun ulang, menghadirkan bentuk baru yang “lahir dari dirinya sendiri.”

Baca Juga : SWARGO: Swanten Patirtaan Ngawonggo, Inisiatif Mahasiswa UMM Hidupkan Kembali Budaya Jawa di Situs Bersejarah

Design Talk: Merayakan Keberagaman Perspektif dalam Desain

 takuSumber Foto: Istimewa

Sebagai bagian dari rangkaian acara, WOF menghadirkan sesi Design Talk, sebuah ruang dialog hangat yang mempertemukan perspektif lintas disiplin dari para pelaku industri kreatif:

Sayoganata, arsitek dari Ciri Diri, membahas pentingnya kejujuran ide dalam merancang arsitektur. Menurutnya, desain yang tulus akan selalu menemukan bentuknya sendiri.

Asterianne dari Byast Interior Design, mengajak audiens memahami hubungan antara emosi dan ruang. Ia menyampaikan bahwa perasaan tak selalu bisa dijelaskan dengan rumus, namun bisa dibaca lewat desain yang peka.

Bramantya Arief, fotografer visual, mengungkapkan bagaimana elemen sederhana di sekitar kita dapat diolah menjadi narasi visual yang kuat dan berkesan.

Ezza Putra Fahmi, Co-Founder Stoffel, menekankan pentingnya merancang dengan rasa. Bagi Ezza, desain yang baik tak hanya bicara tentang estetika, tetapi juga harus memiliki arah, maksud, dan kesadaran.

Binsar Priandika dari WOF menutup sesi dengan kisah di balik terciptanya Sekitar Bench, produk yang terinspirasi dari bentuk alami dan kebutuhan ruang sosial. Cerita ini menjadi contoh konkret bagaimana desain bisa lahir dari keseharian yang reflektif.

Taku sebagai Ruang Belajar

Lewat Taku, WOF mengajak publik melihat desain sebagai proses yang sadar dan berkembang. Ini bukan sekadar produk, tetapi pengingat bahwa bentuk bisa lahir dari ketenangan, waktu, dan perhatian. Pameran ini menjadi jeda untuk merayakan keheningan, bukan hanya hasil akhir.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *