Teater Koma dan Pesan Cinta nya Untuk Pemerintah

MOREARTMOREIT– Teater Koma merupakan salah satu teater tertua di Indonesia yang masih aktif beroperasi hingga saat ini. Pendirinya adalah Nano Riantiarno, seorang seniman asal Cirebon, pada 1 Maret 1977, Teater Koma merupakan teater independen yang tidak berorientasi pada penghasilan atau nonprofit.
Sumber: web @Indonesiakaya foto teater
Perjalanan Teater Koma di Dunia Pertunjukan
Dalam mementaskan lakonnya, Teater Koma tak hanya tampil di satu panggung saja, melainkan ia kerap tampil pada beberapa titik di Jakarta, seperti Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, TVRI, hingga mementaskan dramanya di kota-kota luar Jakarta.
Kritik Melalui Karya Seni
Sudah sejak berdirinya, Teater Koma terkenal akan karyanya yang kerap kali memberikan kritik terhadap pemerintah. Morpips pasti tahu mengenai fenomena para seniman yang mengkritik pemerintah melalui karya seni indahnya. Meskipun seharusnya seniman berfokus menikmati hidup dengan menciptakan karya yang penuh kasih dan sarat makna, mereka justru terusik oleh kebijakan pemerintahan yang sudah keluar jalur.
Seniman sebagai Watchdog Sosial
Sumber: web @Indonesiakaya foto teater
Sebagai bagian dari masyarakat yang peduli pada negara ini, para seniman menjadikan beberapa karyanya sebagai sindiran dan kritikan terhadap kondisi sosial yang terjadi. Mengibaratkan diri sebagai watchdog, inilah salah satu bentuk cinta para seniman terhadap Indonesia.
Opera Kecoa: Karya Fenomenal yang Dilarang
Selama 48 tahun berkiprah dalam dunia pertunjukan lakon, Teater Koma memiliki beberapa pertunjukan yang fenomenal. Salah satunya adalah karya dengan judul ‘Opera Kecoa’ yang penulisnya merupakan sang pendiri teater, Nano Riantiarno, dan menjadi karya yang pernah ada larangan untuk dipentaskan.
Pesan Tersembunyi di Balik ‘Opera Kecoa’
Karya ini sangat fenomenal pada tahun 1985. Menceritakan mengenai kerasnya kehidupan masyarakat pinggiran yang tinggal di Jakarta, Opera Kecoa juga menyelipkan gambaran mengenai kekejaman rezim Orde Baru yang anti-kritik. Karena itu, lakon ini sempat dilarang.
Menggambarkan Realitas Kehidupan Masyarakat Pinggiran
Lakon ini menggambarkan bagaimana kerasnya hidup menjadi golongan pinggiran yang tiada henti tersudutkan oleh keadaan yang serba mencekik. Betapa kerasnya mereka harus bertahan hidup dari hari ke hari sebagai rakyat pinggiran.
Baca Juga: Kesenian Wayang Golek Masih Menjadi Tradisi Di Jawa Barat
Penguasa dan Rakyat: Gambaran Ketidakadilan
Menampilkan gambaran penguasa yang seolah peduli dan ada untuk rakyat. Namun semua yang tidak patuh dan melawan penguasa akan langsung mendapatkan tembakan dari para petugas. Lakon ini sukses memainkan emosi para penonton dan sangat menggambarkan kesengsaraan orang-orang pada masa itu.