Tradisi Riyoyo Kupatan di Kampung Budaya Polowijen, Sajikan Ketupat dari Pawon dan Ragam Tarian Tradisional

Malang Suasana hangat dan penuh kekeluargaan terasa di Kampung Budaya Polowijen, Kota Malang, pada Senin (7/4/2025) saat tradisi tahunan Riyoyo Kupatan kembali digelar. Kegiatan ini menjadi bagian dari perayaan Lebaran Ketupat yang jatuh sepekan setelah Hari Raya Idulfitri, dan selalu warga setempat nantikan maupun pengunjung dari luar daerah.

Tradisi Riyoyo Kupatan

Tahun ini tradisi tersebut hadir dengan nuansa yang sedikit berbeda, namun tetap mempertahankan kekayaan budaya yang kental. Salah satu yang menjadi perhatian adalah proses pengolahan ketupat. Tidak seperti biasanya, ketupat kali ini mereka masak di pawon (dapur tradisional) menggunakan tungku dan kayu bakar. Cara memasak ini bukan hanya sekadar menghadirkan nuansa masa lalu, tetapi juga memberikan cita rasa khas yang lebih nikmat.

“Kali ini yang berbeda adalah ketupatnya mereka masak di pawon menggunakan tungku dan kayu bakar, sehingga menghasilkan cita rasa yang berbeda dan lebih nikmat,” ungkap Ki Demang atau Isa Wahyudi, tokoh budaya sekaligus pimpinan dan penggagas Kampung Budaya Polowijen.

Seni turut mewarnai acara ini

Selain kuliner, unsur seni turut mewarnai acara ini. Berbagai pertunjukan tari tradisional mereka tampilkan, mulai dari Tari Beskalan sebagai tari pembuka, Tari Turi Putih, hingga Tari sakera khas madura. Berbagai elemen budaya ini menjadi ciri khas Kampung Budaya Polowijen, yang terus berusaha menjaga keunikan di tengah arus modernisasi.

“Indonesia ini kaya akan budaya, termasuk di bidang kuliner dan seni. Ketupat bukan hanya makanan, tapi juga kaya akan makna. Semua bahan alami dan proses tradisionalnya menyimpan filosofi yang dalam,” lanjut Ki Demang.

(Sumber: moreartmoreit, Vanny)

Pagelaran Tradisi Riyoyo Kupatan dengan makan bersama di pawon pun bukan tanpa alasan. Tradisi ini menggambarkan nilai kekeluargaan yang erat. Dalam budaya Jawa, tamu yang boleh untuk masuk hingga ke pawon adalah mereka yang mempunyai anggapan dekat secara emosional. “Orang yang kalau bertamu diterima di pawon itu adalah orang terdekat, yang punya hubungan kekerabatan yang erat. Mereka langsung menuju pawon dan mengambil makan di sana,” jelas Ki Demang.

Selain itu, tradisi “ater-ater” atau saling berbagi ketupat kepada tetangga juga seharusnya menjadi tradisi di lingkungan masyarakat karena merupakan bentuk pelestarian. Meletakan ketupat di atas pintu rumah pun memiliki makna simbolis yaitu keterbukaan hati untuk meminta maaf atas segala kesalahan. 

Baca Juga: Dampak Tren “Skena” dalam Kehidupan Sosial Anak Muda

lambang lepat

Ketupat sendiri melambangkan “lepat” atau kesalahan yang diakui dan dilebur, menjadi simbol penyucian hati di momen Idul Fitri. Lewat tradisi seperti ini, nilai kekeluargaan dan gotong royong terus terajut, tak hanya lewat kata-kata, tapi lewat aksi nyata. Semangat pelestarian budaya inilah yang ingin terus Kampung Budaya Polowijen tumbuhkan. Ki Demang berharap agar tradisi Riyoyo Kupatan ini tidak hanya terus berlangsung di Kampung Budaya Polowijen, tetapi juga dapat menginspirasi daerah lainya di seluruh Indonesia untuk melestarikan budaya lokal yang penuh makna ini.

 

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *